monolog




Kita ngga pernah tau jalan cerita seseorang.
Yang semula baik-baik aja dan ngga ada yang salah, bisa jadi serba salah. 
Bahkan saya meyakini bahwa kamu tidak pernah merencanakan masuk ke dalam rumah yang sudah belasan taun tidak punya penghuni tetap. 
Tapi kamu mengajak saya duduk di beranda rumah itu. Tidak asing. Sepertinya, belasan taun yang lalu saya pernah berkunjung ke rumah ini.

"ini rumahmu." katamu dengan sangat yakin.

Rasanya beranda bukan tempat untuk orang sebaik kamu. Kamu layak masuk dan menikmati kopi yang sengaja saya seduh hanya dengan air panas. Ya, saya ingin kamu tinggal sedikit lebih lama. 
Tapi ternyata saya lupa. Sepanas apapun airnya, kopi itu akan dingin dan habis. Lalu, kamu pamit pulang.

Saya pikir kamu akan kembali. Tapi ternyata kamu hanya menuntun saya pulang. Kamu hanya membantu membereskan beberapa sudut rumah yang rusak.
"mau cerita apa?" katamu seusai membuang sarang lebah di pojok ruangan. 
Dan saya hanyut dalam semua kalimatmu. 

Sementara itu, 
Kamu buru-buru meninggalkan saya dalam ruangan itu. Kamu tidak meninggalkan pesan apapun. Kamu tidak menitipkan pesan pada siapapun. Kamu hanya meninggalkan setumpuk hal baik. 

Ya, kamu tidak pernah kembali lagi. 
Beranda rumah saya akan selalu rindu langkah kakimu.

-

ya, seperti bingkisan yang kamu terima beberapa minggu lalu. Dengan isi seadanya. Sesederhananya.
------ Dan selipan kertas.
Bukan, bukan pertanda saya menyudahi. Tapi, saya berterimakasih kamu pernah mau menuntun saya pulang; membereskan seisi rumah. 

Tanpa perayaan,
Tanpa saya tau bagian prolognya,
Cerita kita sudah harus selesai.
Kita,
Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Sang Pemimpi dan JNE Si Teman Perjalananku

Selamat Mencoba!

Kakimu Sendiri